Aceh-indonesia

Bookmark and Share


Dunia terdiri dari berbagai suku dan bangsa. Ada dua hal yang mungkin muncul karenanya. Pertama adalah saling membunuh karena berpikir budaya mereka sendiri adalah yang terbaik. Kedua adalah saling merayakannya sebagai suatu rahmat dari realitas hidup yang multicultural (beragam suku dan budaya). Semua masyarakat yang multi cultural dihadapkan pada pilihan ini. Saling bermusuhan karena perbedaannya atau justru saling belajar satu sama lain?



Sejarah menunjukkan banyak perang dan genocide terjadi, salah satunya, karena sebagian orang berpikir bahwa budaya dan suku bangsa mereka sendiri adalah superior (terhebat).
Tahun 1940-an Hitler di Jerman adalah salah satunya. Hitler percaya ras dan budaya Jerman adalah yang terhebat di dunia. Karena kepercayaan ini, ia meyakini semua ras dan budaya lain harus dimusnahkan. Hitler kemudian membentuk gas-gas chamber bagi menghabisi semua orang bukan asli dan kelompok minoritas di Jerman. Hasilnya lebih dari 2 juta manusia dibunuh secara massal dengan gas beracun and perang dunia ke II meledak.

Tahun 1994 hal yang sama juga berlansung di Rwanda di Afrika. Suku Hutu membunuhi suku Tutsi karena meyakini suku mereka adalah yang terbaik. Lebih dari 800 ribu orang dibunuh, puluhan ribu perempuan diperkosa untuk ditularkan penyakit AID, ratusan ribu dipotongi tubuhnya agar menjadi cacat seumur hidup. Genocide di Rwanda ini menjadi salah satu sejarah tergelap bagi Afrika dan dunia.

Tapi sebaliknya sejarah juga pernah memberikan gambaran lain dimana hidup yang toleran dan saling menghargai antarsesama menjadi sumber kemajuan. Di Spanyol sebelum tragedi naiknya Ratu Isabella tahun 1480, Andalusia adalah simbol dari kerukunan hidup antara Yahudi, Nasrani dan Islam. Saat itu, semua orang berbeda suku dan agama bisa hidup bebas disana. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan menjadi maju karena semua saling belajar dari budaya yang lain.

Berbagai penemuan baru didapatkan dari kerja bersama ahli fisika Islam, ahli matematika Yahudi dan ahli filsafat Kristen. Banyak juga hasil seni hebat diproduksi dari perpaduan kebudayaan ketiga agama. Hal yang sama juga pernah berlansung di India, di zaman Moghul Empire. Akibat kerukunan hidup, hasilnya adalah produksi seni dan budaya, serta Taj Mahal yang menjadi salah satu istana terindah di dunia. India pada saat itu juga menjadi pusat perkembangan kebudayaan yang sangat dinamis.

Pelajarannya adalah ketika semua merayakan perbedaan dari suku, bahasa dan agama sebagai sesuatu yang baik bagi kehidupan, itu akan jadi sumber kemajuan. Tapi sebaliknya ketika permusuhan yang dikembangkan hasilnya adalah kematian dan peperangan.
Kemajemukan adalah salah satu alasan dari sejarah kemajuan beberapa negara besar sekarang termasuk Amerika dan Eropah. Amerika adalah contoh paling menarik disini.

Pada awal kelahirannya, Amerika dibangun dengan keringat dari para pendatang dan para imigran yang terusir dari berbagai belahan dunia. Berbagai jenis pendatang berlomba-lomba menunjukkan yang terbaik di negeri barunya. Persaingan sehat para pedatang ini menjadikan mereka adikuasa secara ekonomi, sebelum akhirnya menjadi adikuasa secara politik. Pengalaman dunia dan pelajaran sejarah ini adalah sangat berguna bagi Aceh. Aceh berada persimpangan kebudayaan dan beragam manusia sejak lama.

Posisi strategis Aceh secara territorial membuat banyak orang selalu datang dan berinteraksi dengan rakyatnya. Berada di titik strategis persimpangan dunia, kota pelabuhan yang berpotensi, Aceh di masa dulu adalah selalu akan menjadi tempat singgah dari banyak orang. Anthony Reid, sejarawan Aceh, dalam beberapa bukunya menggambarkan saudagar Cina, pengusaha Eropa, orang Arab and India adalah pengunjung rutin dari kota pelabuhan Aceh. Aceh masa dulu adalah mungkin seperti Singapore masa sekarang ini. Karena kenyataan ini, sebagian bahkan berpendapat asal usul nama Aceh adalah dari singkatan Arab, Cina, Eropah, and Hindia.

Karenanya proses integrasi berbagai budaya dan berbagai orang adalah keniscayaan dalam sejarah Aceh. Sejarah menunjukkan orang Aceh adalah masyarakat yang multi cultural dan kosmopolit. Berbeda-beda, ada turunan Cina, Arab, India dan Eropa tapi mereka semua bisa hidup satu sama lain, bertentangga, saling menghormati.

Aceh saat itu adalah terbuka bagi siapapun, tanpa memandang jenis agama, suku dan warna kulit. Islam yang kemudian menjadi agama mayoritas di Aceh tidak pernah membuat takut pihak luar dan kelompok minoritas di Aceh. Islam di Aceh tidak pernah menjadi hambatan bagi pergaulan dengan berbagai bangsa dan suku. Ia tidak juga pernah memaksakan. Hasilnya adalah Aceh yang tidak keras dan fundamentalis (ekstrim).

Ketika utusan raja Inggris, James Walace, datang untuk persahabatan, ia disambut dengan penuh hormat, disediakan tempat mulia, di bikinkan pesta. Utusan Inggris begitu terkesan dengan keramahan orang Aceh. Tapi Aceh juga bisa menjadi keras terhadap pendatang yang masuk untuk memusuhi. Keras terhadap asing bukan karena berbeda agama, bangsa dan suku dengan mereka, tapi karena mereka datang untuk mencanangkan perang dan permusuhan. Makanya ketika Kohler datang untuk menjajah Aceh, ia dilawan dengan gagah berani dan ditembaki. Seandainya Kohler datang untuk perkawanan, mungkin kenduri dan pesta adalah sambutan kepadanya.

Sekarang sejarah sedang berulang. Paskatsunami dan paska-MoU Helsinki, Aceh kembali lagi didatangi berbagai jenis orang, dari berbagai suku, agama, warna kulit. Pertanyaan yang muncul kemudian apakah rakyat Aceh akan melihat ini sebagai ancaman atau peluang untuk merayakannya bagi belajar satu sama lainnya?
Ada sebagian orang yang melihatnya sebagai ancaman. Mereka terus mepropagandakan bahwa orang asing yang datang adalah musuh yang harus diusir pulang. Propaganda ini adalah sesuatu yang sangat tidak mendasar.

Musibah tsunami dan konflik adalah penyebab kedatangannya. Mereka datang karena percaya dengan suatu nilai universal tentang humanitarianism, bahwa semua manusia sama dan perlu dibantu. Bahwa mereka punya kebudayaan dan suku yang berbeda adalah benar, tapi semua adalah manusia, dan manusia yang satu wajib membantu manusia lainnya. Humanitarianism menempatkan semua manusia sebagai setara dan sama, tanpa perbedaan warna kulit, suku dan agama.

Disisi lain, kedatangan mereka sebenarnya juga akan membuka peluang bagi rakyat Aceh untuk belajar yang baik dari budaya orang lain. Nenek moyang terdahulu rakyat Aceh justru melihat keragaman berbagai suku dan agama yang mengunjungi Aceh sebagai potensi untuk perpaduan. Yang bagus dari berbagai budaya diambil menjadi sesuatu yang baru dan dipakai untuk cara hidup yang lebih baik.

Pernyataan yang bilang bahwa budaya Aceh yang terbaik di dunia adalah bohong. Begitu juga pernyataan sebaliknya yang bilang bahwa budaya asing adalah terbaik didunia juga bohong. Setiap budaya punya sisi baik dan buruknya. Memadukan yang baik, menjadikannya sebagai sintesis baru adalah cara yang bijak, daripada menolaknya semena-mena. Terhadap budaya orang dan diri sendiri, philosophy yang baik adalah tidak merasa inferior (rendah diri) dengan budaya sendiri, tapi juga tidak merasa superior (paling hebat) dengan budaya sendiri. Beranilah belajar dari budaya orang lain dan budaya sendiri.

Philosophy ini penting bagi masa depan Aceh di dunia yang global sekarang ini. Masa depan dunia adalah masyarakat yang multicultural. Dunia kedepan dihadapkan pada kenyataan bahwa kita harus hidup berdampingan satu sama lain. Koneksi antara satu belahan dunia dengan belahan dunia yang lain semakin dekat. Kehidupan multicultural Aceh adalah modal yang harus dijaga. Kita bisa belajar banyak hal positif dari keberagaman manusia, agama, dan suku bangsa.